Jumat, 08 Oktober 2010

Virus Liberalis di Muhammadiyah

oleh : Fakhrurazi Reno Sutan

Penganut faham liberal di Muhammadiyah mulai menampakkan taring. Melalui berbagai pemikiran yang dituangkan di beberapa jurnal dan buku, mereka berusaha melibas sendi-sendi faham keagamaan Muhammadiyah.

Faham keagamaan Muhammadiyah yang merupakan hasil kesepakatan dan musyawarah setingkat Muktamar, Tanwir, dan persidangan lainnya itu, bagi mereka tidak ada artinya. Bahkan semua itu dianggap kolot, literal, dogmatis, dan sederetan penghinaan dan pelecehan lainnya.

Mereka mengklaim diri sebagai kelompok Liberal, sementara yang menentang dan menghalang-halangi mereka dituduh sebagai kelompok Literal. Mereka klaim dirinya Inklusif, sementara yang tidak setuju dengan pemikiran mereka dicap sebagai eksklusif. Mereka mengaku sebagai pemikir kontekstual, sedangkan yang lain diberi label dogmatis, dan sederetan label, symbol, dan cap yang mereka taburkan (baca "SM" no. 04 Februari 2004). Seakan merekalah pemilik kecerdasan, dan orang lain dianggap bodoh, dungu, dan jumud.

Kenapa Muhammadiyah tidak boleh melakukan interpretasi atau menafsirkan ajaran-ajaran Islam menurut yang diyakini warga Muhammadiyah? Mengapa Muhammadiyah tidak boleh membentuk kultur ala Muhammadiyah sendiri? dan kenapa Muhammadiyah dipaksa untuk berfaham Liberal? Mengapa mereka rusak kedamaian dan ketenangan yang selama ini telah dinikmati oleh warga Muhammadiyah?

Menanggapi realitas yang memilukan ini, Dr H M Hidayat Nur Wahid, anggota MTDK PP Muhammadiyah, di sela-sela acara International Congres of Islamic Scholars (23/02) di Jakarta, mengatakan bahwa menurut pandangan Barat, ada tiga tipikal umat Islam di Indonesia, yaitu Moderat, Fundamental dan Liberal. Dan selama ini, Muhammadiyah dan NU dikenal sebagai kelompok moderat.

Hidayat lalu mempertanyakan kenapa kelompok liberalis memaksakan kehendaknya untuk merubah Muhammadi-yah menjadi Liberal. "Apakah mereka menginginkan semua orang harus berfaham liberalis? Kalau ya, berarti mereka bukanlah Liberal benaran. Kalau mereka Liberal benaran, seharusnya membiarkan saja kalau ada orang yang ingin menjadi seorang Moderat atau seorang fundamental, terserah masing-masing saja. Janganlah terlalu su`uzhan pada orang lain, itu tidak baik".

Lebih lanjut Hidayat Nur Wahid yang juga Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini mengatakan, "Jika sekiranya ada warga Muhammadiyah yang merasa tidak cocok lagi dengan faham keagamaan yang telah diputuskan oleh organisasi terbesar di dunia ini sebagai kebijakan organisasi, ya silakan saja tidak mengobrak-abrik sendi-sendi keorganisa-sian Muhammadiyah. Kalau ingin mengibarkan bendera Liberalis, tentunya tidak cocok dikibarkan dalam Muhammadi-yah, ya tahu dirilah!" tegasnya.

Pandangan senada juga disampaikan oleh Drs H M Goodwill Zubir, Sekretaris PP Muhammadiyah. "Mereka yang ingin berkreasi dalam pemikiran dan ingin menjadi orang maju, boleh-boleh saja. Tapi, janganlah diganggu Akidah Tauhid umat ini, jangan dirusak rumah kita Muhammadiyah ini, dan jangan dipersulit umat dakwah ini dengan pikiran-pikiran yang membingungkan".
Lebih lanjut Goodwill mengungkapkan bahwa menurut logika berpikir, orang-orang yang mau bergabung dengan sebuah organisasi adalah mereka yang memiliki kesamaan-kesamaan visi dan misi. Dan biasanya orang yang tidak setuju dengan visi dan misi sebuah organisasi, maka dia memilih tidak akan masuk ke organisasi tersebut. Muhammadiyah Sudah jelas tujuannya, yaitu untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. "Masyarakat Islam yang benar itu adalah benar imannya, benar ibadahnya, benar akhlaknya dan benar cara hidupnya. Dan patokan benar menurut Muhammadiyah ialah Al-Qur`an dan As-Sunnah", Demikian Goodwil Zubir.

Keberadaan kelompok liberal di Muhammadiyah nampaknya cukup mempriha-tinkan. Mereka sebenarnya hanya sedikit, tapi eksis di berbagai macam lembaga. Mereka aktif di PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban) Muhammadiyah, pada waktu yang bersamaan mereka juga mendirikan Ma'arif Institute dan membentuk JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Tiga lembaga ini diurus sebagian besar oleh orang yang sama, dan membawa misi yang sama.

Untuk sekedar mengetahui bagaimana pola pikir yang mereka kampanyekan secara terus-menerus, di antaranya mereka menolak 'Dakwah kepada keimanan Tauhid'.

Dalam buku Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural yang diterbitkan oleh Ideo Press & Ma'arif Institute, Moeslim Abdurrahman, Direktur Eksekutif Ma'arif Institute dalam pengantar editornya mengatakan, "menurut saya, "dosa" gerakan-gerakan purifikasi Islam, mungkin yang harus disesali tidak hanya karena sejarahnya yang ganas dan apriori terhadap seni dan budaya lokal. Tapi, yang lebih parah, kalau seperti Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid ternyata menjadi jumud, karena tidak mampu memperbarui kesadaran Islam yang lebih substansial dan terbuka untuk memaknai bahwa dakwah bukanlah identik dengan propaganda iman, melainkan, dakwah sesungguhnya adalah setiap kerja religius untuk peradaban dan kemanusiaan".

Pemikiran tokoh liberalis yang juga "mentor" JIMM ini diperjelas lagi oleh anggota pasukannya sendiri, sebagaimana ditulis pada buku yang sama (hal. 3-4): "Agama seyogianya diajarkan secara kritis, objektif dan humanis. Karena penanaman dogma pada hakikatnya merupakan bentuk pemaksaan keyakinan yang tak sesuai dengan hak azasi manusia (HAM). Untuk itulah kiranya, tak perlu lagi adanya kegiatan pengajaran atau bahkan misi dogmatis agama dalam arti yang mengajak orang lain menuju jalan Tuhan tanpa pertimbangan-pertimbangan yang objektif dan kritis. Dengan demikian siapapun yang berusaha mengajak, menyerukan atau memobilisasi manusia ke dalam satu keyakinan agama, pada hakikatnya ia telah memisahkan atau mengeluarkan agama tersebut dari jiwa manusia".

Betapa ngawurnya pemikiran ini, karena sudah jauh menyimpang dari Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma'ruf nahi munkar. Pikiran Liberalis ini apabila disebarkan dalam Muhammadiyah, maka dia akan memecah belah jama'ah, merusak persatuan dan menghancurkan identitas Muhammadiyah. Dengan kata lain, Paham Liberalis saat ini bagaikan Virus yang mulai menggerogoti tubuh Muhammadiyah.

Coba kita bandingkan bagaimana konsep dakwah menurut Muhammadiyah. Tentang Keimanan, Muhammadiyah berkeyakinan: "Hendaklah iman ditablighkan, disiarkan seluas-luasnya, diberi riwayat dan dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan, hingga iman mendarah daging, masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati sanubari pada anggota Muhammadiyah semuanya". (Lihat putusan Muktamar Muhammadiyah 1940 dalam buku Muhammadiyah Jalan Lurus, yang sampai sekarang belum dihapuskan).

Inilah paham Muhammadiyah yang sebenarnya dan telah disepakati oleh Warga Muhammadiyah, melalui forum musyawarah. Jadi Insya Allah kita tidak akan berdosa kalau mengajak orang untuk beriman Kepada Allah SWT, bahkan merupakan suatu amalan baik yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. (Majalah Tabligh)

Fakhrurazi Reno Sutan, Mantan Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta)



LAISA MINNA : Mereka bukan golongan kami
Jejak Liberalisme, Pluralisme, Inkusivisme di Muhammadiyah


Muhammadiyah didirikan dengan idealisme untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu Islam yang murni, bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, bersih dari segala hal yang mengotorinya: takhayyul, bid'ah dan khurafat (TBC).

Untuk menghadapi realitas tersebut, Muhammadiyah sebagai gerakan yang memiliki idealisme pemurnian ajaran Islam, menjalankan prinsip tajdid, yang bermakna: (1) Al-I'adah, yakni kembali kepada kemurnian Al-Quran dan as-Sunnah al-maqbulah sebagai­mana dipahami Rasu­lullah dan sahabatnya (salaf al-shalih), (2) Al-Ihya, yakni menghidupkan ajaran-ajaran al-Quran dan al-Sunah yang sudah banyak terbeng­kelai di kalangan umat, dan (3) Al-ishlah wat-tajdid, yakni perbai­kan dan pembaharuan pema­haman dalam konteks perkem­bangan peradaban umat manusia. (lihat putusan muk­tamar tarjih XXII di Malang, 1989).

Prinsip-prinsip pemikiran keislaman Muhammadiyah dalam menghadapi realitas umat Islam ini sejalan dengan pandangan Imam al-Syatibi dalam kitabnya Al-I'tisham, yang menyatakan bahwa tajdiduddin harus selalu dilakukan oleh umat Islam dalam rangka aktualitas dan fungsionalitas ajaran Islam. Prinsip ini sejalan dengan hadits Rasulullah dalam riwayat Abu Daud yang menya­takan bahwa Allah akan menu­run­kan dalam setiap kurun waktu seratus tahun seseorang yang akan mentajdid umat Islam dalam memahami dan mengamalkan Islam.

Tetapi, dalam perkem­bangan­nya, pergumulan pemi­kiran keislaman Muham­madiyah akhir-akhir ini mulai banyak dipengaruhi liberalis­me pemikiran keislaman kontemporer. Memang, dalam batas-batas tertentu dinamika tersebut diperlukan oleh Muham­madiyah, akan tetapi ketika liberalisme tersebut terlalu dihegemoni oleh pemikiran Barat sekular, akhirnya menimbulkan ketegangan-ketegangan, yang sedikit banyak melelahkan dan merugikan perkembangan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.

Tetapi, pemikiran para liberalis kini semakin bebas dan kebablasan dalam menso­sialisasikan berbagai tradisi aneh yang lahir dari rahim Kristen. Beberapa pemikiran liberalis yang diasong dari Kristen itu antara lain: faham pluralisme agama, inkusivis­me, sekulerisme dan metode hermeneutika untuk menafsir­kan Al-Qur'an.

Untuk mengetahui orang-orang yang sudah terinfeksi virus liberal itu, dengan mudah dapat kita takar para pemikir dengan Al-Qur'an dan Hadits Nabi, minimal dengan Muqad­dimah Anggaran Dasar Muham­madiyah, Matan & Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, dan Pedoman Hidup Islami Muhammadiyah.

Umumnya, para liberalis itu alergi dengan klaim kebenaran (truth claim) yang menyatakan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah SWT. Bahkan tidak segan-segan mereka mengkritik Islam secara terus-menerus.

Di kalangan tua, contohnya adalah Abdul Munir Mulkhan. Di harian Kompas dia mene­gaskan pentingnya pemeluk agama mengkritik doktrin agama yang dianutnya. Alasannya, menurutnya, melalui kritik itu akan terbuka ruang pengem­bangan kesa­lehan bagi semua orang yang berbeda agama. (baca: Para Pengibar Bendera Liberal).

Sementara di kalangan muda, tercatat nama Achmad Fuad Fanani, Sekretariat JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Pada pengajian Bulanan PP Muhammadiyah tanggal 26 Desember 2003 di PP Muham­madiyah Jakarta dengan tema: "JIMM: Apa dan Mau Ke Mana?" menyatakan cita-citanya untuk terus-menerus mengkritik Muhammadiyah dan agama Islam, bermitraan dengan JIL.

"Kalau kita memiliki Muhammadiyah, itu berarti kita hanya bangga dengan Muham­madiyah saja. Tapi kalau kita ingin menjadi Muhammadiyah, kita melakukan kritik terus-menerus terhadap Muham­madiyah dan terhadap Islam itu sendiri... JIL, PSAP dan sebagainya itu adalah mitra-mitra JIMM yang nantinya bisa diajak bekerjasama untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam yang berdi­mensi praksis sosial juga."

Pernyataan orang yang mengaku intelek ini sangatlah aneh. Bagaimana dia berani mengkritik Islam? Padahal Allah SWT telah menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama paripurna yang diridhai-Nya. Penegasan tentang kesempurnaan Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah firman Allah yang diterima Muhammad dalam Hajjatul Wada', yang disepakati sebagai ayat terakhir turun kepada beliau:

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukup­kan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu" (Al-Ma`idah 3).

Nampaknya, para liberalis yang mengklaim "intelekual Muhammadiyah" ini harus membaca ulang identitas Muhammadiyah yang sudah mulai dilupakannya. Bukankah Muhammadiyah dengan tegas mengakui bahwa Islam adalah satu-satunya din yang diridhai Allah?

"Islam merupakan satu-satunya dinullah yang diridhai-Nya, juga satu-satunya petunjuk hidup yang akan membawa manusia kepada keselamatan dan kebaha­giaan dunia dan akhirat" (lihat Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, MKCH).

Penegasan tersebut didasar­kan kepada firman ­Allah: "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berse­lisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir ter­hadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabnya" (Ali Imran 19).

Juga firman Allah yang berbunyi: "Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) dari­padanya, dan dia termasuk orang-orang yang rugi" (Ali Imran 85).

Berawal dari keprihatinan dan keresahan warga Muham­madiyah itu, maka para pengawal Islam yang dimotori oleh MTDK PP Muham­madiyah Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengadakan seminar nasional bertema: "Pemikiran Islam Muham­madiyah: Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam." Acara yang dihadiri pula oleh para intelektual dari Malaysia tanggal 1-2 Maret ini sangat penting untuk mengawal dan mengamankan Islam dari virus liberal.

Din Syam­suddin, dalam sambutannya mengakui bahwa seminar ini sangat tepat waktu karena saat ini umat Islam berada dalam situasi pemikiran yang berbeda, termasuk di lingkungan Muhammadiyah menyangkut Islam dengan munculnya Islam Liberal. "Sekarang ada suara dari luar, bahwa di PP Muham­madiyah kantor Menteng Jakarta, terjadi pertarungan antara lantai 3 dengan lantai 4. Lantai 3 dimotori oleh Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) yang menerbitkan majalah Tabligh, sedangkan lantai 4 dimotori oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) yang menerbitkan Jurnal Tanwir," kata Din.

Menanggapi perseteruan pemikiran yang berbeda itu, Din memberikan solusi untuk kembali kepada faham keaga­maan Muhammadiyah. "Faham keagamaan Muham­madiyah sudah ada dan sebaiknya dikutip dan dibacakan kutipannya, ada dalam Himpunan Putusan Tarjih, Pedoman Hidup Islami, Matan Kepribadian dan lain sebagainya. Dalam dokumen-dokumen resmi organisasi penuh dengan faham keagamaan, tapi sayangnya paham keagamaan Muham­madiyah yang ada di dalam berbagai dokumen organisasi itu kurang dipahami oleh warganya sendiri," jelas Din.
Mengusung Teologi Kristen

Dalam makalah yang berjudul "Keresahan Warga Muhammadiyah," Musthafa Kamal Pasha menyoroti ber­bagai wacana liberalisme Islam. Dengan menapaktilasi sejarah, terungkap bahwa ide pluralisme agama berasal dari produk Kristen pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Ernst Troeltch.

Tokoh Muhammadiyah didikan Madrasah Muallimin Muhammadiyah -kawah Candra­dimukanya Muham­madiyah- yang pernah dibina langsung oleh KH. Kahar Muzakkir, KHR Hadjid, KHA Badawi, KH Wardan Dipo­ningrat, KH Bakir Shaleh, KH AR Fakhrudin, KH Djindar Tamimy dan KH Ahmad Azhar Basyir ini mengungkapkan keresahan warga Muham­madiyah. Para pendahulu Muhammadiyah itu menekan­kan demikian kerasnya bahwa Islamlah satu-satunya agama yang haq (truth), menyela­matkan (salvation) dan sem­purna. Tapi kini dengan ide liberal, Amin Abdullah menya­ta­kan perlunya meng­akui kesela­matan dalam agama lain.

Seminar menjadi hangat ketika Prof Dr Yunan Yusuf menyampaikan makalah "Dina­mika Penafsiran Al-Qur`an dan Pemaknaan As-Sunnah: Klasik dan Kontemporer." Menurut Yunan, semua orang bebas menafsirkan Al-Qur'an dan Hadits seliberal mungkin, asal tidak keluar dari 4 batasan. Maksudnya, Al-Qur'an bisa ditafsirkan dan Hadits boleh disyarah apa saja, dengan syarat: 1) tidak menyimpulkan bahwa Allah itu tidak esa. 2) jangan menyim­pul­kan bahwa Muham­mad bukan rasul. 3) jangan berkesimpulan Al-Qur'an bukan wahyu. 4) jangan berkesimpulan hari kiamat tidak ada.

Hampir semua peserta yang mendapat kesempatan berbicara, terfokus menang­gapi dan membantah pen­dapat Yunan.

Tanggapan yang cukup keras dilontarkan oleh Yadi Purwanto, Dekan Psikologi UMS dan Pimpinan Pesantren Islamadina Tawangmangu. Menurutnya, keempat batasan liberal itu masih membingung­kan dan tidak tepat. Bahkan bisa membuka pintu kerusa­kan tafsir. Misalnya, definisi esa dalam ketuhanan. Sebab Kejawen, Kristen dan Yahudi masih mengatakan bahwa tuhan mereka esa, dengan kriteria masing-masing yang berbeda dengan akidah Islam.

Demikian pula dengan kriteria kedua, yang menyata­kan bebas menafsirkan Al-Qur'an asal tidak berkesim­pulan bahwa Muhammad bukan nabi. Sebab kalangan liberalis pun mengakui kenabian Muhammad, tapi belum final dalam mengajar­kan Islam. (baca: Batasan ­Liberal Membingungkan).

Sayangnya, Yunan tidak menanggapi pendapat Purwanto. Dia hanya berkilah, "Waktu yang diberikan untuk menjawab tidakmencukupi." Pada bagian akhir seminar, Dr. Yunahar Ilyas Lc MA menyampaikan makalah "Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam." Ditegaskan­nya bahwa sebaiknya, seha­rus­nya dan sebenarnya, Islam itu eksklusif. Alasannya, Allah sendiri telah menjelaskan bahwa Islam itu satu-satunya Agama yang benar, diridhai dan diterima Allah (Ali Imran 19, 85). (baca: Menyoal Pluralisme Agama).

Para pembicara lain dalam seminar yang berusaha menghadang pemikiran liberal adalah Adian Husaini MA Dr Anis Malik Toha, Doktor Ugi Suharto, Dr. Achmad Satori, Nirwan Syafrin MA, Dr Syamsul Anwar, Dr Ahmad Luthfi Fathullah dan Dr Saad Ibrahim MA.
Jika faham liberalisme, pluralisme, inklusivisme dan metode hermeneutika bukan dari Islam dan faham keaga­maan Muhammadiyah, maka tidak ada kata yang tepat untuk mereka, selain "Laisa Minna" (bukan golongan kami).


Majalah Tabligh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar